Masih Relevankah "Perbedaan Itu Indah"
Roman Diary - Ada satu waktu dimana aku pikir perbedaan itu indah. Makanya, kalau kita jadi berbeda-beda sifat atau apapun yang kita pilih, menurutku itu indah. Namun, belakangan aku jadi mikir apa sih, bedanya ‘perbedaan’ atau ‘persamaan’ itu?
Itu jadi masalah kalau perbedaan atau persamaan jadi mutlak. Jadi harus. Kadang-kadang demi mencapai itu, dibuatlah propaganda besar-besaran, almost dan mostly-lately kasar, atas nama persamaan. Ini nggak aneh, tapi ada juga yang berbuat itu atas nama perbedaan. Nah, ini yang aneh. Kita menganggap perbedaan itu indah, begitu ada orang yang memilih jadi sama, which is, beda sama pandangan kita, kok kita malah sewot? Jadi sama anehnya sama orang yang mempropagandakan persamaan, dong! Nah, agen propaganda “kembaran” ini juga lagi tren banget. Semua harus dibuat seragam. Kalau nggak, pasti dianggap salah. Lucunya, mereka nggak mau denger alasan macem-macem, telinga mereka disumpal kuat-kuat, mungkin takut keyakinan pribadi goyah.
Gawatnya, kalau agen-agen perbedaan mengancam atas nama individualitas, yang lainnya mengancam atas nama normatif. Whew! Manusia-manusia sekarang doyan banget ngancam-ngancam orang!
Misal, saking mengagungkan perbedaan, maka ada yang bilang, orang-orang yang maunya sama aja itu artinya nggak punya kepribadian, nggak punya karakter. Buatku, ini ancaman secara halus, supaya mereka yang sedang dijaring juga bisa jadi manusia yang “berbeda”. Jadi berbeda, atau biar jadi punya pola pikir yang sama dengan yang ngacem, ya?
Lain kasus lagi, yang menginginkan persamaan terang-terangan bilang, kalau nggak sama, berarti melanggar norma. Entah norma persahabatan, seperti fenomena baju kembaran. Kalau nggak kembaran, berarti nggak kompak! Lah? Dalam skala lebih besar, ancamannya langsung ke surga-neraka, nggak tanggung-tanggung! Kayak contoh yang tadi, kalau anak cewek nggak pake jilbab, masuk neraka, lho! Lah, situ Tuhan, bisa bikin keputusan kayak gitu? Bukannya itu hak Tuhan, ya? Hati-hati lho, masuk neraka… :p (sendirinya ngikut ngacem-ngancem)
Lagi-lagi, ternyata ujungnya sama aja, yaitu konformitas sosial. Buat yang mungkin baru denger, konformitas itu adalah sifat yang mau ikut-ikutan aja. Apapun alasannya, pada akhirnya, yang kita ikutin itu adalah lingkungan sosial kita. Kita memutuskan untuk jadi beda dan liberal dan apalah namanya, kalau itu dilakuin karena ada temen yang kita percayai omongannya bilang gitu, itu artinya kita sedang melakukan konformitas. Kita nggak melakukan perbedaan karena pada dasarnya kita juga cuma nyama-nyamain dia.
Fatalnya, semua ini terjadi di permukaan layar media sosial. Dalam dunia media sosial, identitas kita itu tertutupi. Bukannya tertutupi secara total, tapi kita yang ngerasanya identitas kita tertutup. Ini namanya perasaan anonimitas. Nah, perasaan kalau kita “tanpa identitas” ini yang bikin semua pola emosi dan pola pikir yang tadinya kita tutup-tutupin, keluar tanpa malu-malu atau ragu atau takut. Semua yang (hampir) nggak mungkin keluar kalau kita lagi bertatap muka secara langsung sama lawan bicara dalam dunia nyata.
Ini namanya deindividuasi. Dimana sikap moral kita turun drastis karena kita ngerasa nggak bakal kena hukuman dari perilaku kita. Kalau kita berhadapan langsung sama orangnya, trus kita ngomong kurang ajar, bisa aja kita langsung dibentak-bentak atau ditonjok sekalian. Beda kan, sama di medsos? Paling banter kita bales-balesan ngetik kata-kata kurang ajar. Ngebaca caci-maki yang diketik sama caci-maki berupa bentakan yang kayak badai itu pasti beda banget rasanya.
Diperparah lagi dengan agen-agen provokasi. Nggak tahu apa tujuannya, target yang dia mau, selalu ada agen-agen yang pertama kali bikin ricuh. Bisa jadi sekadar pengen liat drama lanjutannya (kali dia hobi sinetron, kan) atau mungkin punya kepentingan kampanye politik (yang paling heboh orang saling caci-maki itu kalau udah deket pemilu, mau pilpres, mau pilgub, sampe pilkada, ah mulai deh, kelihatan rusuhnya!)
Makanya, di dunia medsos itu, mental-psikologis kita yang sebenernya diuji. Semua perbedaan yang tadinya malu-malu diungkapin di dunia nyata, akhirnya keluar, kadang-kadang tanpa filter. Perasaan pertama yang biasanya bakalan muncul adalah ‘tidak nyaman’ dan ‘merasa diserang.’ Yang “diserang” sebenernya bukan ideologi dan/atau keyakinan kita, tapi rasa aman. Rasa aman di tengah dunia yang kita tahu dan, sadar atau nggak sadar, sudah kita bangun selama ini. Kalau kita merasa nggak aman, jelas kita akan memproteksi diri. Akhirnya, muncullah berbagai bentuk defense mechanism (lebih jelasnya baca teori Sigmund Freud, rada jadul, tapi masih relevan kalo soal ini).
Sekarang, aku juga nggak lagi punya motto perbedaan itu indah, karena aku baru sadar kalau nggak ada yang berbeda. Orang-orang cuma punya “golongannya” masing-masing. Dalam golongannya, ya mereka sama, nggak ada bedanya. Jadi, istilah perbedaan itu muncul lagi-lagi hanya demi membela kepentingan kelompok.
Maksudnya, di dunia nyata, apa kita pernah mempermasalahkan orang pake baju hitam dan orang pake baju putih? Nggak, kan? Boro-boro, merhatiin aja nggak!
No comments for "Masih Relevankah "Perbedaan Itu Indah""
Post a Comment
Silahkan memberikan komentar dengan bahasa yang santun