Ekspektasi Versus Harapan
Roman Diary - Satu waktu, aku pernah membaca meme soal cara mencapai kebahagiaan. “If you want happiness, lower your expectation.” Jujur aja, aku agak bingung. Kalau kita merendahkan ekspektasi kita, apa malah kita jadi mengurangi usaha dalam mencapai tujuan? Malah ngebuat kita menurunkan target daripada berusaha yang terbaik sampai dimana kemampuan kita bisa mencapai.
Baru sekarang aku paham kalau ekspektasi dan harapan itu beda. Yah kalau kita cari definisi ekspektasi ternyata nggak ada di KBBI, jadi murni kata adaptasi dari expectation dan sayangnya aku nggak nemu kata padanan yang deket artinya dengan kata ini. Jadi, akhirnya aku cari perbedaan definisinya lewat situs luar negeri, yaitu jeremystatton.com.
Yang kudapat ; In his book The Awakened Heart, Dr. Gerald May tells us the difference between expectation and hope.He defines expectation as a “rigid clinging to unreal belief.” Expectation is demanding exactly what we want to happen regardless of what is actually happening. Meanwhile, hope is flexible. It is alive. It responds to all situations instead of battling against the ones that appear to be opposite.
Dan akhirnya kusimpulkan kalau ekspektasi itu sifatnya memaksa dan berfokus sama apa yang kita mau, jadi lebih egosentris. Waktu kita berekspektasi, kita susah untuk melihat kepentingan orang lain yang mungkin menghalangi keinginan kita. Makanya, ekspektasi lebih banyak menghasilkan kekecewaan dan perselisihan. Biasanya lagi, ekspektasi ini sifatnya spesifik dan jangka pendek, sehingga orang suka gagal melihat efek dari satu keinginan dalam jangka panjang.
Lain lagi sama harapan. Seperti yang dibilang Dr. Gerald di atas, harapan lebih fleksibel. Harapan itu adalah pandangan general kita dalam memaknai satu hasil, sehingga orang yang berharap itu lebih melihat satu masalah dalam kesatuan yang harmonis. Nggak cuma mementingkan keinginan pribadi, harapan membuat kita bisa memahami kepentingan orang lain atau lingkungan karena kita fokus pada pemaknaan hasil, bukan hasil itu sendiri. Tentunya juga, efeknya itu bertahan dalam jangka panjang karena solusinya melibatkan semua pihak terkait.
Contoh kayak perilaku mer0k0k. Kalau kita berekspektasi orang berhenti mer0k0k, kita akan fokus sama larangan mer0k0k. Padahal, dalam satu perilaku itu ada juga pola pikir dan pola pikir orang itu beda-beda. Tanpa memahami masalah dan kebutuhan si per0k0k, kita malah lebih milih untuk memaksa dia berhenti mer0k0k. Hal ini mungkin efektif dalam membentuk perilaku yg kita mau dalam jangka waktu pendek. Dan mungkin cuma menimbulkan efek semu, dimana dia nggak mer0k0k di depan kita aja. Di belakang, dia tetap mer0k0k. Jadinya, apa fungsi dia berhenti mer0k0k? Cuma biar kita seneng aja. Ya, kalau emang itu mau kita, boleh-boleh aja, sih.
Sebaliknya, kalau kita mendasarkan larangan mer0k0k ini pada harapan, kita akan mencoba memahami apa sebab perilaku mer0k0k, dan mau melihat dari sudut pandang si per0k0k. Artinya, kita nggak egois, hanya mikir yang penting kita merasa benar. Dengan begitu, solusinya akan melibatkan banyak pihak dan membuat kita bekerja sama dengan banyak pihak untuk mencapai tujuan yang baik untuk semua, bukan cuma baik untuk kita. Cara begini juga cenderung akan menghasilkan hasil yang lebih lama dan lebih menetap.
Jadi, ekspektasi bikin orang terobsesi sama hasilnya, sedangkan harapan membuat keinginan yang lebih harmonis.
Caranya? Ya, pertama-tama kita harus paham apa yang kita mau. Paham tentang diri kita dan mau menerima diri kita apa adanya. Saat kita udah bisa menerima diri kita, biasanya pandangan kita terhadap dunia di luar kita lebih seimbang. Nyaman dengan diri sendiri membuat kita nyaman dengan lingkungan, apapun yang terjadi di lingkungan itu.
Dan itu membuat kita lebih gampang untuk menerima lingkungan apa adanya, bukannya memaksa lingkungan yang berubah sesuai mau kita. Dengan seimbangnya pola pikir kita terhadap diri sendiri dan lingkungan, kita bisa mencari solusi yang memenangkan kepentingan semua.
Mungkin nggak, sih? Posisi kemenangan kan, cuma satu? Ya, karena kita manusia yang pastinya persepsi juga beda-beda, persepsi kemenangan itu sendiri juga jadi beda-beda. Kebutuhan kita aja juga beda-beda, kok. Sama kayak sistem barter zaman dulu aja. Masing-masing benda pasti nilai nominalnya beda, tapi kalau sesuai kebutuhan, jadinya nilai intrinsik barang itu jadi seimbang dan masing-masing orang puas dengan nilai yang diberikan barang itu. Contoh simpelnya aja, penjual persepsi menangnya untung, pembeli persepsi menangnya bisa dapet discount. Kalau penjual bisa ngasi discount tanpa mengurangi banyak keuntungan, ya mereka sama-sama menang. Produk laku, pembeli makin percaya.
Jadi, kalau mau harmonis, ekspektasi mesti rendah, harapannya yang tinggi…
Ekspektasi membangun obsesi, harapan membangun harmoni…Setelah beberapa tahun, kurasa aku baru bisa mendekati maknanya. Kenapa cuma mendekati? Karena, sayangnya, dalam beberapa tahun ke depan dinamika manusia bisa berubah. Mungkin ada makna yang lebih sempurna daripada yang kutemuin sekarang. Ini nulis sambil nonton “Interstellar” kayaknya terpengaruh begini haha…
Ilustrasi: Ekspektasi Versus Harapan |
Baru sekarang aku paham kalau ekspektasi dan harapan itu beda. Yah kalau kita cari definisi ekspektasi ternyata nggak ada di KBBI, jadi murni kata adaptasi dari expectation dan sayangnya aku nggak nemu kata padanan yang deket artinya dengan kata ini. Jadi, akhirnya aku cari perbedaan definisinya lewat situs luar negeri, yaitu jeremystatton.com.
Yang kudapat ; In his book The Awakened Heart, Dr. Gerald May tells us the difference between expectation and hope.He defines expectation as a “rigid clinging to unreal belief.” Expectation is demanding exactly what we want to happen regardless of what is actually happening. Meanwhile, hope is flexible. It is alive. It responds to all situations instead of battling against the ones that appear to be opposite.
Dan akhirnya kusimpulkan kalau ekspektasi itu sifatnya memaksa dan berfokus sama apa yang kita mau, jadi lebih egosentris. Waktu kita berekspektasi, kita susah untuk melihat kepentingan orang lain yang mungkin menghalangi keinginan kita. Makanya, ekspektasi lebih banyak menghasilkan kekecewaan dan perselisihan. Biasanya lagi, ekspektasi ini sifatnya spesifik dan jangka pendek, sehingga orang suka gagal melihat efek dari satu keinginan dalam jangka panjang.
Lain lagi sama harapan. Seperti yang dibilang Dr. Gerald di atas, harapan lebih fleksibel. Harapan itu adalah pandangan general kita dalam memaknai satu hasil, sehingga orang yang berharap itu lebih melihat satu masalah dalam kesatuan yang harmonis. Nggak cuma mementingkan keinginan pribadi, harapan membuat kita bisa memahami kepentingan orang lain atau lingkungan karena kita fokus pada pemaknaan hasil, bukan hasil itu sendiri. Tentunya juga, efeknya itu bertahan dalam jangka panjang karena solusinya melibatkan semua pihak terkait.
Contoh kayak perilaku mer0k0k. Kalau kita berekspektasi orang berhenti mer0k0k, kita akan fokus sama larangan mer0k0k. Padahal, dalam satu perilaku itu ada juga pola pikir dan pola pikir orang itu beda-beda. Tanpa memahami masalah dan kebutuhan si per0k0k, kita malah lebih milih untuk memaksa dia berhenti mer0k0k. Hal ini mungkin efektif dalam membentuk perilaku yg kita mau dalam jangka waktu pendek. Dan mungkin cuma menimbulkan efek semu, dimana dia nggak mer0k0k di depan kita aja. Di belakang, dia tetap mer0k0k. Jadinya, apa fungsi dia berhenti mer0k0k? Cuma biar kita seneng aja. Ya, kalau emang itu mau kita, boleh-boleh aja, sih.
Sebaliknya, kalau kita mendasarkan larangan mer0k0k ini pada harapan, kita akan mencoba memahami apa sebab perilaku mer0k0k, dan mau melihat dari sudut pandang si per0k0k. Artinya, kita nggak egois, hanya mikir yang penting kita merasa benar. Dengan begitu, solusinya akan melibatkan banyak pihak dan membuat kita bekerja sama dengan banyak pihak untuk mencapai tujuan yang baik untuk semua, bukan cuma baik untuk kita. Cara begini juga cenderung akan menghasilkan hasil yang lebih lama dan lebih menetap.
Jadi, ekspektasi bikin orang terobsesi sama hasilnya, sedangkan harapan membuat keinginan yang lebih harmonis.
Caranya? Ya, pertama-tama kita harus paham apa yang kita mau. Paham tentang diri kita dan mau menerima diri kita apa adanya. Saat kita udah bisa menerima diri kita, biasanya pandangan kita terhadap dunia di luar kita lebih seimbang. Nyaman dengan diri sendiri membuat kita nyaman dengan lingkungan, apapun yang terjadi di lingkungan itu.
Dan itu membuat kita lebih gampang untuk menerima lingkungan apa adanya, bukannya memaksa lingkungan yang berubah sesuai mau kita. Dengan seimbangnya pola pikir kita terhadap diri sendiri dan lingkungan, kita bisa mencari solusi yang memenangkan kepentingan semua.
Mungkin nggak, sih? Posisi kemenangan kan, cuma satu? Ya, karena kita manusia yang pastinya persepsi juga beda-beda, persepsi kemenangan itu sendiri juga jadi beda-beda. Kebutuhan kita aja juga beda-beda, kok. Sama kayak sistem barter zaman dulu aja. Masing-masing benda pasti nilai nominalnya beda, tapi kalau sesuai kebutuhan, jadinya nilai intrinsik barang itu jadi seimbang dan masing-masing orang puas dengan nilai yang diberikan barang itu. Contoh simpelnya aja, penjual persepsi menangnya untung, pembeli persepsi menangnya bisa dapet discount. Kalau penjual bisa ngasi discount tanpa mengurangi banyak keuntungan, ya mereka sama-sama menang. Produk laku, pembeli makin percaya.
Jadi, kalau mau harmonis, ekspektasi mesti rendah, harapannya yang tinggi…
No comments for "Ekspektasi Versus Harapan"
Post a Comment
Silahkan memberikan komentar dengan bahasa yang santun